ASAL USUL SEJARAH KOTA LAMONGAN
Dulu
Lamongan merupakan pintu Gerbang ke Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Panjalu,
Kerajaan Jenggala, Kerajaan Singosari atau Kerajaan Mojopahit, berada di Ujung
Galuh, Canggu dan Kambang Putih ( Tuban ). Setelah itu tumbuh pelabuhan Sedayu
Lawas dan Gujaratan (Gresik), merupakan daerah amat ramai, sebagai penyambung
hubungan dengan Kerajaan luar Jawa bahkan luar Negeri.
Zaman
Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur, di Lamongan berkembang Kerajaan kecil
Malawpati (kini dusun melawan desa Kedung Wangi Kecamatan Sambeng) dipimpin
Raja Agung Anglingdarma dibantu Patih Sakti Batik Madarin termasuk kawasan
Bojonegoro kuno. Saat ini, masih tersimpan dengan baik, Sumping dan Baju
Anglingdarma di dusun tersebut. Di sebelah barat berdiri Kerajaan Rajekwesi di
dekat Kota Bojonegoro sekarang.
waktu
Kerajaan Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk (1350-1389) kawasan kanan kiri
Bengawan Solo menjadi daerah Pardikan. Merupakan daerah penyangga ekonomi
Mojopahit dan jalan menuju pelabuhan Kambang Putih. Wilayah ini diseut Daerah
Swantatra Pamitan di bawah kendali Bhre Pamotan atau Sri Baduga Bhrameswara
paman Raja Hayam Wuruk ( Petilasan desa Pmotan kecamatan Sambeng ), sebelumnya.
Menurut
buku Negara Kertagama telah berdiri pusat pangkaderan para cantrik yang mondok
di Wonosrama Budha Syiwa bertempat di Balwa ( desa Blawi Karangbinangun ), di
Paciran ( Sendang Duwur Paciran ), di Klupang ( Lopang Kemangbahu ) dan di
Luwansa (Desa Lawak Ngimbang ).
Menjelang keruntuhan
Mojopahit tahun 1478 M, Lamongan saat itu di bawah kekuasaan Kerajaan Sengguruh
(Singosari) bergantian dengan Kerajaan Kertosono (Nganjuk) dikenal dengan
kawasan Gunung Kendeng Wetan diperintah oleh Demung, bertempat di sekitar Candi
Budha Syiwa di Mantup. Kekuasaan Mojopahit di bawah kendali Ario Jimbun
(Ariajaya) anak Prabu Wijaya V di Glagahwangi yang berganti Demak Bintoro
bergelar Sultan Alam Akbar Al Fatah (Raden Patah) 1500 sampai 1518, lalu
diganti anaknya, Adipati Unus 1518 sampai 1521 M, Sultan Trenggono 1521 samai
1546M.
Setelah Indonesia
Merdeka 17 Agustus 1945, daerah Lamongan menjadi daerah garis depan melawan
tentara pendudukan Belanda, Perencanaan serangan 10 Nopember Surabaya juga
dilakukan Bung Tomo dengan mengunjungi Kyai Lamongan dengan pekikan khas
pembakar semangat Allahu Akbar. Lamongan yang dulunya daerah miskin dan
langganan banjir, berangsur angsur bangkit menjadi daerah makmur dan menjadi
rujukan daerah lain dalam pangentasan banjir. Dulu ada pameo “Wong Lamongan nek
Rendeng gak iso ndodok, nek ketigo gaiso cewok” tapi kini diatasi dengan semboyan
dari Sunan Drajat, derajate para Sunan dan Kyai “Memayu Raharjaning Praja” yang
benar-benar dilakukan dengan perubahan mendasar, dalam mensejahterakan
rakyatnya masih memegang budaya kebersamaan saling membantu sesuai pesan
kanjeng Sunan Drajat “Menehono mangan marang wong kang luwe, menehono payung
marang wong kang kudanan, menehono teken marang wong kang wutho, menehono
busaono marang wong kang wudho”
Wisata di Kabupaten
Lamongan yang menonjol selama ini menjadi Ikon Wisata Bahari Lamongan (Lamongan
Ocean Tourism Ressort). Lamongan Intregated Sharebased, Proyek Pelabuhan
Rakyat, dan Proyek Lapangan Terbang dan Eksplorasi Minyak Balong Wangi
Sarirejo, memungkinkan datangnya investasi baik dari dalam negeri maupun
investor luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar